Minggu, 01 Januari 2012

SEMUA ORANG ADALAH BINTANG

Seorang teman sekolah saya waktu sekolah dasar dulu di Soppeng, sebut saja namanya Firman. Ketika itu dia selalu tinggal kelas karena nilai rapornya banyak yang merah, bahkan dia selalu dijauhi oleh teman-teman kami karena di telinganya selalu ada cairan yang keluar dan berbau amis, sehingga dia tersingkir dari pergaulan teman sebayanya. Informasi terakhir tentang Firman baru saya ketahui dua tahun terakhir ini, ternyata dia tidak sempat menamatkan pendidikannya sampi level SMA. Tetapi apa yang terjadi, dia sekarang memiliki usaha pertukangan khususnya membuat dinding rumah panggung. Kualitas pekerjaannya banyak digemari oleh penduduk di kampung, Bahkan diluar kampung sendiri banyak memesan sama firman, Usaha Firman tersebut tergolong sukses di kampung.

Di Batang Ase Maros, tetangga mertua saya sebut saja namanya Fatma yang tidak lulus SMA, karena nilai UAN-nya tidak memenuhi persyaratan untuk lulus. Ternyata dibalik kelemahan kemampuan kognitifnya tersebut dia memiliki kemampuan psikomotorik yang luar biasa, yakni pintar menjahit baju. Sehingga umumnya tetangganya memesan aneka baju khususnya baju wanita, baik untuk kebutuhan pesta maupun pakaian kantor. Dan sekarang Fatma sangat kewalahan menerima orderan jahitan karena kualitas jahitannya sangat disukai oleh kaum ibu-ibu di Lingkungan Batang Ase.

Dua profil itu mewakili banyak Firman-Firman dan Fatma-Fatma yang lain, dimana kecerdasan yang dimiliki tidak terakomodir di sekolah formal, tetapi justru sukses menapaki kehidupan sosial di luar sekolah formal. Apa yang salah di pendidikan formal kita, bagaimana kurikulum nasional mengakomodir potensi kecerdasan setiap anak melalui peningkatan kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektifnya secara konfrehensif.

Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman bahwa : “Sungguh kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. Surah Attin (95): 4). Menurut Quraisy Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah bahwa maksud manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya adalah manusia terdiri dari dua hal yakni kesempurnaan fisik (bentuk tubuhnya yang lurus dan pas dengan fungsinya) dan psikis (memiliki akal dan pemahaman), sehingga hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Howard Gardner psikolog dari Univerisitas Harvard Amerika Serikat menemukan dalam teorinya yang sangat terkenal yakni kecerdasan majemuk (multiple Intelegence), kecerdasan majemuk tersebut terdiri dari 8 kecerdasan yakni; Kecerdasan Bahasa, logika matematika, spasial, musikal, kinestetis-tubuh, naturalis, interpersonal dan intrapersonal yang dimiliki oleh setiap orang. Beragam kecerdasan ini dimiliki oleh setiap anak sebagai bukti bahwa Allah Swt menciptakan manusia ke dunia ini memiliki kelebihan yang berbeda dan tidak mungkin sama.

Sedangkan Mimi Doe dan Marsha Walch penulis buku 10 Prinsip Spritual Parenting, Master Pendidikan Universitas Harvard mengatakan bahwa “ Jika Tuhan diyakini hadir di hati setiap orang, maka menghormati hati adalah juga menghormati Tuhan. Jika kita pertama dan terutama sekali mengakui dan menyadari diri kita sebagai makhluk spritual , kita akan membimbing anak-anak kita menjadi insan spritual yang menyadari makna kehidupan yang sesungguhnya”.

Ketika kebijakan nasional pendidikan yang membuat standar kelulusan lebih didominasi kemampuan kognitif dan hanya beberapa matapelajaran saja, rasanya menafikan kecerdasan majemuk anak tersebut. Mana mungkin setiap anak dipaksakan untuk seragam kemampuan kognitifnya sementara potensi kecerdasannya sungguh sangat berbeda satu sama lain.

Munif Chatib penulis buku “Sekolahnya Manusia “ dan “ Gurunya Manusia” yang juga konsultan pendidikan mengembangkan pendidikan di sekolah binaannya dengan melakukan MIR sebelumnya. MIR ( Multiple Intelegence Research-Penelitian kecerdasan majemuk) adalah salah satu metode untuk mengetahui jenis kecerdasan setiap siswa sehingga guru bisa memilih gaya mengajar ketika menghadapi siswa berdasarkan kecerdasan yang diidentifikasi. Untuk memudahkan guru menentukan gaya mengajar untuk menyesuaikan gaya belajar siswa maka setiap kelas disatukan atas dasar hasil MIR tadi yakni menyatukan siswa yang memiliki kecendrungan kecerdasan yang sama dengan tetap memperhatikan pagu maksimal tidak lebih dari 30 siswa.

Selain itu hasil penelitian ini menjadi dasar bagi guru untuk menyusun RPP (Rencana program pembelajaran) yang biasa disebut “lesson Plan” (Rencana Pembelajaran) di sekolah binaan Pak Munif. Itu hanya perbedaan istilah dengan kementerian pendidikan nasional, tetapi subtansinya tetap sama, yakni guide line guru untuk mengajar. Lesson plan disusun dengan mengacu pada hasil penelitian tentang kecendrungan kecerdasan yang akan diajar di kelas tertentu. Sehingga guru betul-betul memasuki dunia siswa, guru mengikuti gaya belajar siswa, sehingga siswa tidak merasa asing dengan perilaku gurunya.

  • · Sekolah bukan penjara

Sekolah dibangun sebagai wujud dari kewajiban negara untuk memberikan pengajaran kepada setiap warga negara tanpa pandang bulu, dengan harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah UUD 1945. Guru direkruit oleh negara untuk mengajar anak bangsa menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang luhur, para tenaga kependidikan direkruit untuk mensupport kebutuhan sekolah yang dibutuhkan dalam rangka memudahkan para tenaga pendidik melaksanakan tugas-tugasnya agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai.

Sekolah dalam sejarahnya diawali dengan pendidikan di padepokan-padepokan Pendeta Hindu zaman dahulu kala ketika masih zaman kerajaan Majapahit dan kemudian diadopsi masuk di pendidikan pesantren. Ketika itu proses pendidikan di sekolah sifatnya masih dalam bentuk non formal. Tidak diatur seperti sekarang, tetapi sangat fleksibel. Tergantung kebijakan pengelola padepokannya atau pesantrennya. Namun dalam perkembangannya sekolah dikembangkan ketika zaman kolonial Belanda, dengan pendidikan yang sifatnya formal, kemudian sistemnya diatur oleh Pemerintah Belanda, dan sistem itulah yang diwariskan sampai sekarang.

Pada prinsipnya sekolah dibangun dengan harapan bisa menjawab kebutuhan para siswa untuk menuntut ilmu, tentunya berbasis pada potensi sumberdaya yang dimiliki. Bagaimana mereka dibantu untuk menemukan dirinya di sekolah melalui sebuah proses pendidikan yang berbasis pada potensi kecerdasan yang dimiliki. Dan sekolahnya itu sendiri diharapkan tidak jauh dari kehidupan dan lingkungan siswa sehari-hari. Sistem sosial budaya berjalan di sekolah buka hal yang jauh berbeda dengan lingkungan sehari-hari siswa. Sehingga antara lingkungan sosial dengan sekolah bukan sekat atau penjara.

Dalam beberapa peristiwa ditemukan, sekolah dalam hal ini unsur-unsur yang ada didalamnya dan yang berkaitan dengan itu melakukan praktek-praktek yang tidak menjawab kebutuhan anak untuk datang menuntut ilmu di sekolah. Mereka datang dengan harapan ada perubahan, mereka datang karena mereka memang tidak mampu menemukan sendiri kecerdasannya. Mereka datang ke sekolah karena mereka memiliki kekurangan. Dalam keterbatasan itu mereka berharap sekolah yang didatanginya dapat memenuhi kebutuhannya. Tetapi apa yang terjadi, siswa tidak pernah diidentifikasi apa harapannya datang di sekolah itu, tiba-tiba yang muncul peraturan sepihak yang dianggap aneh, salah satunya adalah memakai baju yang rapi dengan indikator kerapian memasukkan baju di celana, sedangkan realitas sosial ternyata banyak orang yang tidak memasukkan bajunya dan kelihatannya rapi juga, seperti baju batik, gamis dan piama. Kemudian muncul pembelajaran yang sangat asing dari kehidupannya, sehingga para siswa belajar sangat sulit beradaptasi. Misalnya pembelajaran matematika tentang integral dan defrensiasi atau turunan, siswa sangat sulit memahaminya karena tidak dipahami kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Untuk apa mempelajari integral itu, apa manfaatnya. Saya sendiri sampai hari ini tidak memahami manfaatnya. Sehingga dirasakan pembelajaran banyak yang asing atau biasa disebut melangit, padahal kita hidup di bumi. Meskpun jika dipahami tujuan dan manfaatnya sungguh sangat menarik.

Harapan para siswa umumnya agar di sekolah bisa diproses dari tidak bisa menjadi bisa, tentunya basisnya pada potensi kecerdasan yang mereka miliki. Namun ketika di sekolah, tiba-tiba diklasifikasi ada kelas unggulan, ada kelas RSBI (Rinstisan Sekolah Bertaraf Internasional) dimana siswa yang dianggap pintar disatukan dalam kelas tersebut kemudian mendapat perlakukan istimewa dari kelompok siswa yang dianggap bodoh. Parameternya semua pada unsur kognitif, sehingga keberadaan kelas istimewa seperti ini justru menafikan hak-hak setiap anak untuk mendapatkan pengajaran yang sama dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.

Ketika kita masuk di sekolah masih biasa ditemukan sekolah yang belum memperlakukan siswanya secara adil, contoh pengaturan perabot yang masih berjajar dari depan ke belakang seperti yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dulu. Siswa yang duduk di bagian belakang pasti kurang mendengar penjelasan-penjelasan gurunya, apalagi jika gurunya bersuara kecil. Ketika ditemukan ada guru melarang siswa bertanya atau menyanggah pendapat nya, maka sama saja guru tersebut mematikan potensi siswa dan memenjarakan pikiran-pikirannya. Padahal sekolah adalah tempat mengasah dan melatih kemampuan siswa itu sendiri.

Di sekolah dipelajari bagaimana mengefektifkan dan mengefesienkan pendapatan, padahal tidak semua peluang profesi setiap orang setelah selesai menempuh pendidikan adalah pegawai yang berpenghasilan tetap, ada juga orang yang berprofesi sebagai pengusaha yang justru memiliki kemampuan bagaimana mengelola uang agar bisa memperoleh lebih banyak lagi keuntungan, dengan mengindahkan efesiensi penggunaan uang tadi, artinya bahwa dunia luar sangat berbeda dengan kondisi sekolah yang dialami. Dimana kecerdasan usaha tidak diorientasikan bagi siswa yang memiliki minat dan bakat pada aspek itu, tetapi diseragamkan seolah-seolah semua siswa tersebut nantinya akan menjadi pekerja atau pegawai (negeri atau swasta).

Kehadiran sekolah diharapkan bisa membentuk manusia yang lebih sempurna berdasarkan potensi yang dimiliki, proses mengasah agar bisa menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik. Dimana memiliki kemampuan pengetahuan, dan keterampilan yang baik tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah terbangunnya sikap yang menjunjung tinggi akhlak mulia sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya dapat diamalkannya. Dalam Al-Quran Allah melanjutkan Firman-Nya Kemudian Kami mengembalikan ke tingkat yang serendah-rendahnya, kecuali yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS. Surah Attin (98) : 5-6).

Namun yang paling penting adalah teladan dari para tenaga pendidik, karena siswa akan meniru sikap yang mengajarnya. Selain itu komunikasi metafisik sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan, karena praktek-praktek dalam proses kegiatan yang terjadi di sekolah akan mempengaruhi kualitas pembelajaran. Misalnya guru rajin mengajar, karena ikhlas mengajar. Maka siswapun merasa ikhlas menerima pembelajaran. Jika pengelola sekolah membuat pertanggungjawaban pengelolaan sekolah yang jujur, maka akan mempengaruhi secara keseluruhan ruh pembelajaran di sekolah. Karena ada nilai yang konsisten, murid diminta membiasakan jujur dalam bertindak, dan pengelola sekolah sendiri yang mempraktekkan nilai-nilai kejujuran tersebut, begitu pula jika sebaliknya.

  • · Beragam keanehan output sekolah formal.

Di sekolah umumnya yang dianggap pintar biasanya siswa yang menguasai pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Inggris, sedangkan yang berprestasi di bidang seni budaya, olah raga, masak memasak, wirausaha dianggap bukan siswa pintar. Padahal Allah menciptakan manusia masing-masing memiliki kelebihan yang menonjol, dan tidak mungkin sama setiap siswa.

Seorang teman saya sebut saja Yunus, satu Fakultas dan Jurusan di Teknik Arsitektur profesinya sekarang sebagai manager pemasaran sebuah perusahaan perlengkapan bayi, sangat jauh dari ilmu Arsitektur. Dan ilmunya tidak diperoleh ketika duduk di bangku sekolah, tetapi merupakan bakat alami yang sangat dia senangi, namun selama ini tidak terakomodir di sekolah. Nanti setelah tamat baru tersalur di dunia kerja. Seorang teman yang lain sebut saja namanya Ina alumni Jurusan Teknik Perkapalan saat ini sedang mengajar di sebuah SMP, Sujiwo Tedjo seorang budayawan yang terkenal merupakan alumni ITB (Institute Teknologi Bandung), dan Pak Munif Chatib sendiri yang sekarang sebagai konsultan pendidikan merupakan Sarjana Hukum alumni Jurusan ilmu hukum di Fakultas Hukum universitas Brawijaya Malang Jawa Timur. Dan yang lain mungkin memiliki alasan tersendiri untuk memilih aktifitasnya yang jauh berbeda dengan latarbelakang pendidikannya.

Dulu ketika saya masih duduk di bangku SMP Muhammadiyah di kampung saya, seorang sepupu Bapak saya sangat lancar membacakan huruf lontara, tetapi jika diberi surat dari anaknya yang sementara kuliah di Makassar yang bertuliskan huruf latin dia serahkan ke saya untuk saya bacakan. Begitu pula ketika saya bertanya tentang ilmu perbintangan, dia sangat pintar menjelaskan tentang tanda-tanda musim ketika muncul formasi bintang tertentu yang sampai hari ini sayapun tidak mengerti. Dia sangat paham kapan musim hujan datang, musim kemarau,arah angin, bahkan dia bisa prediksi munculnya hama tertentu hanya dengan melihat bintang. Sungguh ilmu yang sangat luar biasa yang tidak diperoleh di bangku sekolah.

Saat ini saya baru sadar, bahwa setiap orang memiliki sebuah kelebihan dan tidak bisa disamakan dengan yang lain. Allah Yang Maha Sempurna menciptakan makhluknya pasti juga memiliki unsur-unsur kesempurnaan. Orang cacat sekalipun pasti ada kelebihannya. Sebut saja Gola Gong penulis terkenal di Indonesia yang hanya memiliki satu tangan, Thomas Alfa Edison yang menemukan listrik ternyata menderita tuna rungu, Hellen Keller yang sangat terkenal itu ternyata dia menderita tuli, buta dan bisu sejak kecil dia peraih dua medali oscar, dan yayasannya saat ini tersebar di seluruh dunia. Franklin D. Roosevel mantan Presiden Amerika pada era perang dunia II memimpin Amerika di atas kursi roda karena menderita penyakit polio, serta Bill Gates pendiri microsoft orang terkaya di dunia ini pernah mengalami disleksia. Betapa besarnya kebesaran Allah tentang makhluk ciptaannya dan bahkan kelebihannya melebihi manusia normal secara fisik.

Selain itu tentang perangkinan, atau biasa orang sebut pemberian predikat peringkat di setiap kelas maupun secara umum masih menimbulkan kontraversi di kalangan ilmuwan, praktisis dan pemerhati di bidang pendidikan. Dari hasil temuan belum ada hasil penelitian bahwa seorang anak rangkin di kelas atau di sekolah akan menjamin memperoleh pekerjaan atau nasib yang lebih baik dibanding dengan yang tidak mendapatkan rangkin sama sekali. Soalnya indikator rangkin lebih banyak menggunakan penilaian di aspek kognitif dibanding dilakukan secara konfrehensif untuk seluruh aspek. Padahal setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini masing-masing memiliki kelebihan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

  • · Sekolah Unggulan.

Sekolah unggulan yang dikembangkan oleh pemerintah selama ini atau oleh masyarakat melalui berbagai yayasan adalah sekolah yang mengutamakan input (the best input). Artinya siswa yang menjadi anak didiknya merupakan hasil seleksi yang ketat dari berbagai latar belakang, meskipun indikatornya masih tetap menggunakan indikator kemampuan kognitif . Sekolah unggulan tersebut biasanya dilengkapi fasilitas yang canggih seperti LCD, Laptop, AC dan sound system yang lengkap. Bahkan dilengkapi CCTV untuk memantau aktifitas pembelajaran di setiap kelas. Mereka menawarkan sebuah program unggulan yang mampu menarik minat orang tua siswa.

Namun sekolah unggulan yang diharapkan sesungguhnya adalah sekolah yang mengabaikan input, tetapi lebih mengutamakan proses. Apapun inputnya, keluarannya nanti adalah semua siswa adalah juara. Prinsip pembelajaran berbasis pada kecerdasan berbasis otak dengan memilih strategi pembelejaran yang memfungsikan otak kiri dan kanan secara seimbang. Serta melahirkan siswa yang mememili akhlak yang baik , sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki dapat diamalkan untuk kepentingan kemaslahatan ummat. Guru mengajar tidak lagi menjadi pusat pembelajaran, tetapi ada reposisi dari guru sebagai centre ke siswa sebagai centre. Sehingga fungsi guru lebih kepada fungsi-fungsi fasilitator, sedangkan siswa menjadi pelaku yang aktif. Dimana dalam proses pembelajaran siswa diharapkan bisa menemukan sendiri substansi pembelajaran yang diharapkan.

Suasana sekolah unggulan tersebut penuh kreasi dan inovasi dalam pembelajaran, fasilitasnya biasa-biasa saja, bahkan media pembelajaran yang digunakan tidak mutlak harus mahal, bahkan bisa menggunakan sampah sebagai media belajar. Komunikasi antar guru sangat harmonis, sehingga komunikasi metafisik guru dan siswa berlangsung dengan baik. Sekolah ini betul-betul menjadi wadah bagi para siswa menunut ilmu dengan suasana yang menyenangkan. Suasana yang mereka dambakan, sehingga lahirlah siswa-siswa yang selalu memiliki pikiran positif, karena dibentuk oleh suasana yang memilki energi positif juga.

Dengan adanya sekolah unggulan seperti ini diharapkan bisa melahirkan siswa-siswa yang memiliki ilmu pengetahuan yang maju dengan penuh kreasi dan inovasi, disertai dengan akhlak yang baik sehingga mereka mampu menerapkan ilmunya di lingkungannya demi menciptakan suasana kehidupan yang dicita-citakan bersama. Selama ini sekolah-sekolah unggulan seperti ini sudah dikembangkan oleh Prof. Jalaluddin Rakhmat melalui Yayasan Muthahari di Bandung dan Jakarta, Munif Chatib mengembangkannya melalui Sekolahnya Manusia di beberapa propinsi, DBE pengembangkan programnya lewat pengajaran dan pembelajaran bermakna khususnya level pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) di 5 Propinsi di Indonesia. Semoga ke depan akan terlahir sekolah-sekolah unggulan seperti ini di Indonesia, sehingga tidak ada lagi istilah anak bodoh, tetapi mereka lahir dan berproses berdasarkan potensinya masing-masing.

Semoga tulisan ini bisa membuka cakrawala baru kepada semua pihak khususnya bagi praktisi pendidikan, pemerhati pendidikan dan pengambil kebijakan untuk berpikir dan bertindak bersama mengevaluasi dan membangun institusi pendidikan khususnya di Indonesia dalam rangka menciptakan kualitas sumber daya manusia yang berbasis pada potensinya sebagai mahluk Tuhan.

Salam Pendidikan