Jumat, 09 Maret 2012

Bencana Membawa Berkah






Lengkese adalah sebuah dusun yang terletak di bawah kaki gunung Bawakaraeng, untuk mencapai dusun tersebut kita membutuhkan waktu 1 jam dari kota Malino. 26 Maret 2004 dusun tersebut mengalami musibah dengan terjadinya peristiwa tanah tumbang dengan menewaskan 32 orang, dan diantara masyarakat yang meninggal dunia 15 orang tidak ditemukan jenazahnya sampai hari ini. Selain itu rumah, sekolah, perkebunan dan persawahan seluas 100 ha juga ikut tertimbun.
Namun musibah tersebut tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Dusun Lengkese (Kampung lengkese, sebutan penduduk setempat) untuk bangkit kembali menata hidupnya di kampung yang mereka cintai. Meskipun ketika kejadian tersebut pemerintah mau merelokasi mereka ke tempat baru (Dusun Belaponranga), namun mereka tetap bertahan untuk hidup di tanah leluhurnya meskipun apa yang akan terjadi. Berdasarkan informasi dari salah Tokoh Masyarakat Lengkese Dg. Tawang (Imam Dusun) Lengkese sudah dihuni sejak 300 tahun yang lalu. Mereka mengandalkan dirinya dengan potensi sumberdaya alam yang mereka miliki serta nilai-nilai lokal yang mereka anut yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Kepala kampung (Dg. Tika) dan Imam Dusun (Dg. Tawang ) adalah dua orang tokoh yang berjuang meyakinkan orang luar yang mau memindahkan mereka. Bahwa mereka memiliki kekuatan untuk bertahan hidup. Mereka masih memiliki sawah, kebun kopi, ternak sapi, dan yang paling penting adalah mereka memiliki nilai-nilai budaya untuk saling membantu, seperti tesan (bagi hasil), saling meminjamkan beras, gotong royong. Mereka memiliki organisasi dalam mengelola air yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dikenal “Pinati”. Air ini digunakan untuk pengairan di sawah. Mereka tidak membutuhkan bantuan materi dari pihak luar, mereka hanya membutuhkan dukungan untuk tetap bertahan hidup di kampung yang mereka sangat cintai.
Salah satu pihak yang selama ini menemani mereka untuk tetap bertahan hidup adalah Karang puang, sebuah LSM yang berada di Malino datang setiap saat mendampingi masyarakat Lengkese bersama-sama mengamati perkembangan longosoran tanah, serta memfasilitasi masyarakat menemukan solusi ketika mereka menghadapi suatu masalah, ungkap Dg. Tika ketika kami dari tim Sulawesi CD project melakukan praktek lapang pada pelatihan bagi Community Facilitator di Lengkese. Tim fasilitator komunitas dari Karangpuang seperti Mahatma Hafel dipanggil atho, Abd. Hakim dg. Bali dipanggil, Dg. Jarre, dan kawan-kawan yang lain senantiasa setia datang ke masyarakat untuk saling membagi, belajar bersama dan bekerja bersama untuk kelangsungan hidup masyarakat Lengkese.
Sebanyak 200 ha tanah mereka, yang terdiri dari sawah dan kebun telah tertimbun, tinggal 100 ha lebih yang tersisa. Itulah yang mereka olah kembali, dan 100 ha yang tertimbun dibagi secara bersama sesuai kesepakatan bersama, karena batas tanah sebelumnya sudah tidak jelas lagi, sehingga sistem pembagian diatur sendiri oleh masyarakat.
8 Tahun kemudian
Saat ini setelah delapan tahun berlalu peristiwa tanah tumbang itu terjadi, masyarakat Lengkese masih tetap hidup bersahaya menikmati dusun mereka seperti biasanya, bahkan Pak Imam Dusun (Dg. Tawang) memberi istilah Lengkese adalah bencana membawa berkah. Alasannya, karena sejak perisitwa tersebut terjadi, banyak sekali orang yang datang sehingga tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya, mereka datang dengan berbagai tujuan, baik datang melihat perkembangan Lengkese setelah peristiwa bencana, maupun yang datang untuk memberi semangat dan belajar bersama masyarakat Lengkese menghadapi bencana jika suatu saat akan terjadi lagi, termasuk yang melakukan penelitian akademik. Mereka berasal dari kalangan pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun di luar negeri.
Sampai saat ini Karangpuang masin terus datang membangun komunikasi dengan masyarakat, bersama mereka untuk mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi. Beberapa tahun yang lalu peserta pelatihan dari FASID yang umumnya orang-orang Jepang juga datang belajar di tempat tersebut, Yayasan esensi dengan melakukan pelatihan Monitoring dan Evaluasi kerjasama TIFA Foundation dengan peserta dari staf NGO di Sulawesi Selatan tahun 2007.
Berbagai perubahan secara fisik telah terjadi di Kampung Lengkese, antara lain perbaikan jalan dusun sekitar 1,6 km serta bangunan pemantau bencana dan saluran air bersih. Oleh Departemen Pekerjaan Umum. Selain itu daerah longsoran di sepanjang Sungai jeneberang sudah menjadi hijau karena ditanami tanaman Lamtoro oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri untuk kebutuhan pakan ternak mereka sekaligus berfungsi sebagai daerah penahan air dan daerah resapan air.
Masyarakat Dusun Lengkese menata hidup mereka dengan nilai-nilai lokal yang sangat kuat, mereka memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda musim dengan membaca tanda-tanda alam, seperti tumbuhnya tumbuhan tertentu maka akan datang musim hujan, musim kemarau, akan ada angin besar dan lain-lain. Tetapi pesan leluhur yang paling kental tertanam di benak mereka adalah “ Jangan sekali-kali meninggalkan Kampung Lengkese, karena itu adalah identitasmu, jika engkau sudah tinggalkan maka engkau sudah kehilangan identitas”. Hal inilah yang membuat Dg. Tika ketua RW dan Dg. Tawang (Imam Dusun) untuk mengajak warga Lengkese untuk tetap bertahan di sana. Karena prinsipnya bencana itu kapan saja bisa datang, dan bisa saja tidak datang lagi. Karena kita juga tidak bisa prediksi. Sementara di kampung ini kita memiliki sawah, kebun kopi arabica, ternak sapi, yang selama ini sudah kita nikmati hasilnya untuk memberi kehidupan kepada kita. Allah Swt sebagai Tuhan kita memberi kenikmatan yang sangat luar biasa yang patut disyukuri.
Dari prinsip inilah Dg. Tika selaku tokoh masyarakat tidak pernah menghadiri undangan keluarga mereka di Kampung Belaponranga, dimana sebelumnya sudah berjanji tidak akan menginjakkan kakinya sampai kapanpun di kampung itu. Karena dia menolak ajakan Pemerintah untuk direlokasi.
Suatu sikap yang sangat berat, tetapi itulah konsekuensi yang harus dihadapi oleh Dg. Tawang yang harus tetap memegang kata-katanya sampai dia meninggal. Karena sejak awal dia berjanji tidak mau meninggalkan kampungnya yang sangat dia cintai sehingga dia mengeluarkan ikrar tersebut. Dia tidak membutuhkan bantuan dari luar kecuali bagaimana mengharapkan dukungan untuk mereka tetap bertahan.
Sikap Dg. Tika tersebut merupakan potret sikap masyarakat kita yang sangat menghormati pesan leluhur dan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya yang menjadi identitasnya. Suatu pembelajaran yang sangat berharga selama satu hari di Kampung Lengkese, masyarakatnya yang ramah dan alamnya yang indah, seolah-seolah bayangan tentang kejadian 8 tahun silam tidak pernah terjadi. Sepertinya tidak ada lagi tanda-tanda kejadian maha dahsyat yang melululantahkan kampung itu. Masyarakatnya hidup seperti biasa, sehari-hari mereka ke kebun kopi, ke sawah dan setiap minggu ke kaki gunung Bawakaraeng untuk memberi makan (garam) ternaknya sekaligus memantau tanda-tanda jika ada pergeseran tanah.
Senyum ramah dari masyarakat Lengkese pertanda mereka sangat bahagia dan menikmati kehidupan yang sangat tenang di Kampung kelahiran yang memiliki nilai-nilai budaya yang kuat, sekaligus tanah yang menjanjikan bagi mereka untuk menghadapi hidup di masa yang akan datang bagi anak cucunya. (mrd)

0 komentar: