Kamis, 22 Desember 2011

MASIHKAH PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA RI

  • · Antara harapan dan realitas

Di negeri kita akhir-akhir ini konflik antar kelompok sangat mudah terjadi, kita bisa saksikan di beberapa tayangan lewat media elektronik dan cetak peristiwa tawuran antar mahasiswa beda fakultas, tawuran antar kelompok pemuda antar kelurahan, perang kelompok masyarakat antar desa, perang kelompok antar organisasi, bentrok antar kelompok pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, bentrok antar masyarakat yang mempertahankan haknya dengan pihak pengusaha seperti yang terjadi terakhir ini di Lampung dan Sumatera Selatan sampai menimbulkan korban jiwa yang sangat mengenaskan serta peristiwa demi peristiwa yang terjadi sungguh sangat memilukan hati.

Beberapa waktu yang lalu penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah karena dianggap bukan penganut Islam, disebabkan perbedaan akidah oleh kelompok Islam yang lain yang berbeda dengan paham Ahmadiyah, begitu pula penyerangan terhadap tempat –tempat ibadah kaum Nasrani yang dianggap tidak layak di suatu tempat, dan beberapa peristiwa lainnya yang masih menganggap satu kelompok lebih baik dari kelompok yang lain. Sementara dalam sila 1 Pancasila disebutkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa, dimana dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Sementara dalam posisi ini kelompok minoritas seolah-seolah tidak mendapat perlindungan dari negara. Padahal negara tidak boleh memihak pada kelompok manapun, justru sejatinya memberikan kebebasan kepada warganya untuk melaksanakan agama dan kepercayaan yang dianutnya berdasarkan atas asas Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia yang didirikan oleh beberapa tokoh dari berbagai golongan.

Jika kita membaca dan merenungi isi Pada Sila 2 dan sila ke 3 Pancasila disebutkan bahwa “ Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Persatuan Indonesia “. jika direnungkan maknanya sungguh sangat dalam, bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara ini dibangun di atas landasan kemanusiaan menuju suatu persatuan dan kesatuan dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Upaya ini dilakukan oleh para pendiri bangsa ini dengan harapan kondisi bangsa Indonesia kedepan akan mencapai suatu masa yang gemilang seperti yang dicamtumkan di Pancasila tersebut sebagai dasar negara. Tetapi dalam prakteknya, sepertinya dasar negara kita tersebut sudah jauh dari realitas yang diharapkan.

Sementara itu wakil rakyat kita yang duduk mulai di senayan sampai di tingkat kabupaten yang notabene dipilih oleh rakyat dan mewakili rakyat, akhir-akhir ini juga mendapat sorotan. Terakhir kasus gaya hidup mewah (hedonis) di tengah-tengah bangsa yang dilanda krisis dimana masih banyak masyarakat miskin yang hidup di bumi yang tercinta ini dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, tetapi perilaku sebagian anggota DPR justru tidak mencerminkan kepedulian terhadap kondisi bangsa ini. Mereka hanya mementingkan gaya hidupnya sendiri dan kepentingan golongan atau partainya, tanpa memperjuangkan masyarakat yang memilihnya, dan tidak menutup kemungkinan yang memilih mereka terdapat komunitas yang sangat miskin. Belum lagi perilaku sebagian anggota DPR tersebut yang melakukan praktek korupsi, suap menyuap untuk suatu kedudukan atau perolehan jabatan serta komptensi mendapatkan proyek. Padahal dalam sila ke 4 Pancasila disebutkan bahwa “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Yang dalam maknanya para wakil rakyat tersebut dipilih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk memperjuangan kepentingan rakyat. Jadi posisi ini bukan untuk berlomba memperbaiki taraf hidup dengan mengatur berbagai proyek, dan sebagian nilai proyek tersebut ke kantong anggota DRP, tetapi posisi tersebut adalah pengabdian untuk kemaslahatan rakyat. Maka paradigma yang keliru ketika menjadi anggota DPR kehidupannya semakin kaya, justru harus lebih banyak mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan rakyat sebagai beban moral dari pemilihnya.

Pada pemandangan yang lain, kita biasa`menyaksikan bagaimana anak jalanan dan pengemis dikejar di jalanan dengan diperlakukan bagaikan binatang, rumah-rumah kumuh dan pedagang kaki lima digusur paksa, masyarakat miskin dibiarkan hidup dibawa kolong jembatan, panti jompo tidak dikelola secara manusiawi seperti yang pernah dipublikasikan oleh media elektronik beberapa bulan yang lalu di Kota Pare-Pare Sulawesi Selatan, serta berbagai rangkaian peristiwa yang mana pada akhirnya kaum lemah selalu menjadi korban.

Sementara itu, di sisi lain banyak orang yang kaya hasil dari praktek kejahatan sebagai pelaku korupsi (perampok uang negara) yang hidup mewah dan tidak tersentuh hukum, jika sekiranya uang hasil korupsi tersebut dikembalikan kepada negara kemudian digunakan untuk membiaya mengatasi masalah kemisikinan. Mungkin kondisi negara bisa lebih baik, masyarakat yang sebelumnya miskin bisa berubah statusnya menjadi sejahtera. Begitu pula kesenjangan antara warga yang memiliki lahan yang luasnya berpuluh-puluh hektar, sementara di sudut yang lain ada warga untuk tempat tinggal saja sangat susah, apalagi sebagai lahan sawah atau kebun mencari nafkah. Sementara di Pasal 5 dikatakan “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sungguh sangat ironis jika merenungi dan memaknai kembali nilai-nilai pancasila ini, jika kita memotret kehidupan berbagsa kita saat ini.

  • · Konteks kekinian Negara RI dibandingkan beberapa peristiwa di negara lain.

Dari rangkaian peristiwa tersebut yang terjadi di negeri kita ini kita boleh optimis akan ada perubahan ke arah yang lebih baik, kita juga bisa pesimis bisa terjadi kehancuran. Belajar dari berbagai peristiwa yang dialami oleh beberapa negara di dunia, seperti Jepang. Dahulu kala juga pernah terjadi peristiwa demi peristiwa yang terjadi antar kelompok hingga sampai pada gerakan restorasi Meiji, dan sekarang Jepang tampil mengalami masa gemilang pasca perang dunia II khususnya setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom bardir oleh pasukan sekutu dengan bom atomnya. Amerika sendiri yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok khususnya konflik antar warga kulit hitam dan kulit putih, sekarang presidennya sendiri adalah berasal dari komunitas kulit hitam yakni Barack H.Obama. Sedangkan negara yang hancur adalah Uni soviet yang sudah hilang dari peta dunia, padahal dahulu merupakan negara besar yang sangat disegani oleh Amerika dan sekutunya. Spanyol ketika masih berstatus sebagai Kerajaan Andalusia dibawah pengaruh Kerajaan Islam pernah mengalami masa keemasan, kemudian timbul peran kelompok akhirnya hancur, dan sekarang tinggal puing-pungnya saja masa keemasan tersebut.

Jika kita membandingkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, maka hal tersebut peluang dua-duanya bisa terjadi. Tergantung para penghuninya menyikapi kondisi bangsa ini. Sebagai rakyat apa yang akan dilakukan, begitu pula negara dalam hal ini aparat negara yang diberikan amanah mengelola bangsa ini, kebijakan apa yang akan dilahirkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Soalnya di depan mata praktek-praktek yang sangat mengecewakan terjadi, misalnya bagaimana mengakses jaminan kesehatan bagi keluarga miskin yang sungguh sangat sulit, meskipun ada Jamkesmas, masyarakat yang hidup di dekat areal wilayah konsensi perusahaan besar baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri. Mereka tiba-tiba kehilangan tanah tempat tinggal dan mencari nafkah karena klaim perusahaan yang mendapat hak pengelolaan tanah negara. Sementara mereka sudah hidup berpuluh-puluh tahun sebelum perusahaan tersebut datang. Hal ini banyak terjadi di seluruh pelosok tanah air yang tercinta. Lagi-lagi kaum lemah selalu menjadi korban.

  • · Harapan solusi

Dari rangkaian peritiwa di atas dan sikap para pengelola negara saat ini, maka sekiranya Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Sukarni, Sam Ratulangi dan para tokoh lainnya bisa hidup kembali, maka mereka pasti melakukan konfrensi pers untuk menyatakan kekecewaannya terhadap orang-orang yang diberi amanah mengelola negeri ini mulai dari tingkat Desa/Kelurahan sampai pemerintahan pusat di Jakarta. Dulu mereka berjuang melawan penjajah untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa pamrih, bahkan mereka rela mengorbankan harta dan nyawanya sekalipun, sedangkan saat ini kita sudah merdeka tetapi malah berperang sesama warga bangsa sendiri.

Ada masalah antar warga dengan pemerintah daerah, polisi atau satpol PP yang dijadikan tamen untuk berhadapan dengan warga. Sehingga yang jadi korban pasti antara polisi/satpol PP dengan warga. Ada sengketa antar warga dengan perusahaan, justru dibentuk pamswakarsa oleh perusahaan kemudian mereka disuruh berhadap-hadapan dengan warga yang juga adalah masyarakat Indonesia. Seperti kejadian baru-baru ini di Lampung dan Sumatera Selatan.

Dalam konteks Negara Republik Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945 tepatnya tanggal 17 Agustus. Kita dihadapkan pada sebuah persoalan besar, apakah kita mampu menemukan solusi yang menimpa bangsa kita ini. Sementara dimana-mana terdapat penghianat negara, berstatus sebagai aparat negara, tetapi justru melakukan praktek korupsi demi kepentingan peribadinya dan golongannya, yang akibatnya pasti merugikan keuangan negara.

Jika kita merenungi peristiwa demi peristiwa di negeri kita ini, banyak hal yang tidak harusnya terjadi tetapi realitasnya terjadi. Berabad-abad yang lalu kita membaca kisah Gajah Mada, Sawerigading, dan terakhir pada sunan yang terkenal dengan sebutan Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia. Mereka pada zamannya mampu membangun sebuah peradaban dengan pondasi budaya yang kuat yang sudah tumbuh berabad-abad sebelumnya. Sekarang seolah-olah simbol-simbol budaya itu hanya jadi slogan dan penghias pada buku dan dinding rumah bagai penggemar kesusastraan saja.

Kita biasa membaca dan mendengar istilah gotong royong, saling menghargai,tenggang rasa, saling menghormati, mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan golongan, tetapi seolah-olah simbol-simbol itu hanya sekedar simbol, tetapi gaunnya di negeri sudah mulai redup. Olehnya itu, perlu kita refleksi bersama cara kita menginternalisasi nilai-nilai bangsa kita selama ini. Kita lakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari nasional, Pancasila dan UUD 1945 pasti dibacakan, setiap pejabat yang akan dilantik pasti disumpah atas nama Allah/Tuhan sesuai keyakinan masing-masing para pejabat. Tetapi rasa-rasanya, ruh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tersebut sudah hambar.

Untuk itu perlu kita mereorientasi cara kita menginternalisasi metode atau strategi untuk menghayati dan mengintegrasikan nilai-nilai itu ke dalam darah kita sehingga menjadi cermin perilaku sehari-hari bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang tercinta ini. Semoga Allah Swt. Meridhoi segala upaya kita untuk memperbaiki bangsa ini yang sedang dalam keadaaan salah kelola.