Senin, 19 Desember 2011

INDAHNYA SEBUAH PERBEDAAN

Tanggal 10 oktober 2011 jam 09.00 pagi waktu Makassar dalam perjalanan menuju Soppeng, sebuah kabupaten yang terletak sekitar 145 Km arah utara Kota Makassar ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, saya menumpangi sebuah mobil kijang angkutan umum Jurusan Makassar- Sengkang. Di dalam mobil tersebut kami terdiri 7 penumpang, salah satu dari penumpang tersebut yang kebetulan duduk berdampingan di sebelah kiri saya, memulai pembicaraan tentang sistem transportasi di Kota Makassar yang mulai macet di beberapa titik, termasuk perbedaan kenyamanan mobil angkutan umum jurusan Makassar-Soppeng dengan Makassar Sengkang, dimana mobil Makassar-Sengkang lebih nyaman karena dibatasi untuk 3 orang satu kelas saja, sedangkan mobil Makassar-Soppeng sampai 4 orang satu kelas, kemudian menyoroti praktek korupsi yang merajalela di negeri ini sampai harapan besar terhadap ketua KPK yang baru Abraham Samad putra sulawesi bersama timnya untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Sambil cerita-cerita kami saling berkenalan, menanyakan nama, profesi serta asal atau tempat tinggal. Bapak tersebut menyampaikan kalau namanya " Simatupang" saya bilang oh Bapak dari Sumut ya?, dia bilang iyya dari Binjai, saya kemudian melanjutkan, oh beberapa bulan lalu saya dari Medan dan kebutulan berkunjung ke Binjai melakukan studi banding di SMPN 1 Binjai. oh itu sekolah saya lanjut Bapak Simpatupang. Kemudian perkenalan dilanjutkan yang balik bertanya kepada saya, bapak kerja dimana?, Saya bilang kebetulan kerja untuk sebuah program pendidikan yang didanai oleh USAID bantuan dari masyarakat Amerika, wilayah program di 5 propinsi di Indonesia termasuk Sumut dan Sul-Sel. kalau Bapak, profesinya apa? Pak Simatupang menjawab :Saya kebetulan sebagai seorang pelayan rohani di sebuah gereja yang membimbing umat kristiani di Pacongkang. oh, itu kampungnya ibu Marwah Daud Ibrahim, seorang tokoh Sul-Sel yang sukses di Jakarta. Pacongkang hanya sekitar 6 Km dari kampung saya pak, saya kebetulan lahir di Lajoa, lanjut saya. Di program kami ini juga membantu sekolah-sekolah kristen pak, seperti SMP Kristen di Kota Palopo. Karena kami bekerja untuk kemanusiaan jadi tidak mengenal lagi perbedaan suku, agama dan ras. Wah bagus itu, lanjut Pak Simatupang.

Sekitar 2 jam setelah kami meninggalkan Makassar tepat pukul 11.00 kami singgah di sebuah warung makan yang bernama Jabal Rahmah terletak tidak jauh dari Bantimurung tempat wisata air yang terkenal di Kabupaten Maros untuk makan siang, kami memesan ikan bakar dan sayur kambu paria makanan khas masyarakat Sul-Sel yang banyak digemari orang, saya memesan ikan Layang yang dibakar, sedangkan Pak Simatupang memesan ikan Lamuru bakar. kami berdua satu meja makan bersama, sebelum makan Pak Simatupang berdoa sesuai ajaran kristiani dan saya pun berdoa sesuai ajaran Islam yang dipelajari sejak TK Aisyiah dulu.

Setelah selesai makan siang, kamipun bergegas meninggalkan warung makan, namun sebelumnya Pak Simatupang minta izin sama saya untuk membayarkan makan siang saya. Saya pun dengan berat hati mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Pak Simatupang membayarkan makan siang saya. Kemudian saya naik ke mobil mendahului Pak Simatupang, Seseorang yang duduk di samping kanan saya menanyakan tentang Pak Simaptupang, Bapak itu pendeta ya? saya bilang iyya pak. oh di Soppeng masih banyak umat Kristiani? saya bilang iyya pak, ada tiga kampung pusat Kristen di Soppeng, yakni Kota Watansoppeng, Woddi Kecamatan Marioriwawo dan Pacongkang Kecamatan Liliriaja tempat Pak Simatupang sebagai pelayan rohani.

Kemudian Pak Simatupangpun menyusul naik mobil, disusul dengan penumpang lainnya. kemudian pak sopirpun menancap gas untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kamipun melanjutkan perbincangan dengan Pak Simatupang, sambil menanyakan pendeta pendahulunya yaitu Pendeta Haddade yang sangat terkenal di Soppeng, Pak Simatupang memaparkan kalau Pak Pendeta Haddade baru-baru ini meninggal dan beberapa hari ini kuburannya sudah ditembok. Saya sendiri baru 3 bulan bertugas di Soppeng sebelumnya juga biasa di Malino yang memang khusus melayani umat Kristiani di Sulawesi Selatan, lanjut Pak Simatupang.

Lalu saya kemudian mencoba meminta pandangan Pak Pendeta Simatupang tentang konflik antar kelompok yang berkaitan dengan issu SARA (suku, agama dan ras) selama ini di Indonesia. Menurut Pak simatupang, bahwa orang keliru mempersoalkan hal itu, toh juga kalau meninggal kelak kita akan dipertanggungjwabkan masing-masing di depan Tuhan yang kita yakini. dalam hati kecil saya betul juga paparan Pak Simatuang.

Saya lanjut bertanya; sudah berapa lama Bapak menggeluti tugas sebagai pelayan rohani, beliau menjawab saya meninggalkan tugas saya sebagai polisi tahun 1992 memutuskan untuk menjadi pelayan rohani. Wah itu keputusan luar biasa pak, mengapa Bapak memutuskan untuk menjadi pelayan rohani padahal pekerjaan sebagai polisi sangat menjanjikan?. Pak Simatupang melanjutkan kisahnya, bahwa beliau pangkat terakhir Letnan 1 kemudian minta pensiun dini dan memutuskan untuk fokus sebagai pelayan ummat. Saya mencoba memancing, apa Bapak keluar karena banyak praktek-praktek yang kurang baik di tubuh kepolisian?. Biasanya orang baik atau orang jujur yang tidak senang terhadap sebuah system dimana dia bekerja lebih memilih mengundurkan diri daripada memberontak. Pak Simatupang hanya tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaan saya. Beliau hanya mempertegas bahwa yang menjadi panglima sekarang di pucuk pimpinan kepolisian dan TNI adalah umumnya lettingnya tahun 1978. kebetulan di Akademi Kepolisian dulu kita dididik 4 tahun, dan 1 tahun terakhir semua angkatan digabung. jadi dari kepolisian, angkatan darat, angkatan laut dan angkata udara semua dipertemukan dalam satu tempat. Sehingga kita satu angkatan bisa saling mengenal dan akrab, lanjut Pak Simatupang.

Saya kemudian kembali meminta pandangannya terhadap konflik SARA selama ini, beliau memulai cerita dengan menggambarkan situasi keluarganya. bahwa dia 4 bersaudara, kakaknya yang tertua menikah dengan orang melayu sehingga masuk Islam dan sudah menunaikan ibadah haji sebelum meninggal, sehingga bergelar hajjah. Sehingga kata Pak Simatupang, kalau ke Medan saya ziarah ke kuburan orang tua dan kakak saya meskipun berlainan agama. Begitu pula di Pacongkan itu ada sebuah keluarga yang dalam satu rumah terdapat dua agama, suaminya muslim sedangkan istrinya beragama Kristen bahkan dia pengurus gereja namanya Ibu Bahriah, sehingga jika hari Natal kami datang berkunjung ke rumahnya, begitu pula saat lebaran. Pak Simatupang kemudian menegaskan bahwa seharusnya konflik itu tidak ada, justru kita harus bersyukur adanya perbedaan itu kita bisa saling kenal mengenal.

Di Makassar, pak Simaptupang biasa bersama dengan Prof. Qasim Mathar membahas hal-hal yang berbau konflik antar kelompok. Mereka saling ketemu di acara Forum antar umat beragama. Dia sangat mengagumi Prof. Qasim. bagaimana Prof. Qasim jika terjadi konflik antar kelompok atau antar agama, dia yang sangat gelisah. Eksperesi tokoh seperti Pak Qasim sangat dibutuhkan di tengah-tengah gerakan perubahan untuk membangun nilai-nilai pluralisme, ketika konflik antara Ahmadiyah dan FPI, Prof. Qasimlah yang sibuk memberi pencerahan. Bagaimana memberikan pemahaman kepada umat tentang sebuah nilai keyakinan setiap orang.

Mendengar komentar Pak Simatupang tadi saya teringat sebuah ayat dalam Al-Quran yang artinya bahwa " Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha teliti. ( QS. Al-Hujurat ((49): 13).

Kemudian pada ayat yang lain dikatakan " Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah (5):48). Di ayat yang lain juga ditegaskan bahwa " Manusia adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." ( QS.Al-baqarah (2): 213).

Sungguh sebuah keindahan jika manusia di dunia ini bisa saling memahami satu di antara yang lain, baik kelompok-kelompok di internal kelompok agama atau suku, maupun antara agama, suku dengan yang lainnya. Toh di akhirat nanti merupakan otoritas Allah Swt yang mengetahui siapa yang paling bertaqwa di antara kita. Tidak ada lagi kesempatan untuk memberi sogokan, karena Allah-lah sebagai hakim tertinggi, yang menentukan vonis bagi manusia.

Keindahan sebuah perbedaan, jika kita bisa saling bekerjasama sebagai makhluk sosial. lihat saja masyarakat Sulawesi Utara, Toraja, Sumatera Utara, mereka berasal dari agama yang berbeda, tetapi mereka saling rukun. Kisah bersama dengan Pak Simatupang tadi memberi inspirasi dan pelajaran yang sangat bermakna tentang sebuah perbedaan, jika dikelola dengan baik bisa menjadi sebuah kekuatan besar sebagai bangsa.

1 komentar:

sy jg punya siswa beda agama tp s tdk pernah membedakan mereka...sy menyayangi mereka sama dgn siswa yg seagama dgnku...selama tidak saling menyakiti dan tersakiti...tak ada yang perlu dirisaukan...bak pelangi berbeda tp indah