Kamis, 22 Desember 2011

MASIHKAH PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA RI

  • · Antara harapan dan realitas

Di negeri kita akhir-akhir ini konflik antar kelompok sangat mudah terjadi, kita bisa saksikan di beberapa tayangan lewat media elektronik dan cetak peristiwa tawuran antar mahasiswa beda fakultas, tawuran antar kelompok pemuda antar kelurahan, perang kelompok masyarakat antar desa, perang kelompok antar organisasi, bentrok antar kelompok pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, bentrok antar masyarakat yang mempertahankan haknya dengan pihak pengusaha seperti yang terjadi terakhir ini di Lampung dan Sumatera Selatan sampai menimbulkan korban jiwa yang sangat mengenaskan serta peristiwa demi peristiwa yang terjadi sungguh sangat memilukan hati.

Beberapa waktu yang lalu penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah karena dianggap bukan penganut Islam, disebabkan perbedaan akidah oleh kelompok Islam yang lain yang berbeda dengan paham Ahmadiyah, begitu pula penyerangan terhadap tempat –tempat ibadah kaum Nasrani yang dianggap tidak layak di suatu tempat, dan beberapa peristiwa lainnya yang masih menganggap satu kelompok lebih baik dari kelompok yang lain. Sementara dalam sila 1 Pancasila disebutkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa, dimana dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Sementara dalam posisi ini kelompok minoritas seolah-seolah tidak mendapat perlindungan dari negara. Padahal negara tidak boleh memihak pada kelompok manapun, justru sejatinya memberikan kebebasan kepada warganya untuk melaksanakan agama dan kepercayaan yang dianutnya berdasarkan atas asas Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia yang didirikan oleh beberapa tokoh dari berbagai golongan.

Jika kita membaca dan merenungi isi Pada Sila 2 dan sila ke 3 Pancasila disebutkan bahwa “ Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Persatuan Indonesia “. jika direnungkan maknanya sungguh sangat dalam, bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara ini dibangun di atas landasan kemanusiaan menuju suatu persatuan dan kesatuan dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Upaya ini dilakukan oleh para pendiri bangsa ini dengan harapan kondisi bangsa Indonesia kedepan akan mencapai suatu masa yang gemilang seperti yang dicamtumkan di Pancasila tersebut sebagai dasar negara. Tetapi dalam prakteknya, sepertinya dasar negara kita tersebut sudah jauh dari realitas yang diharapkan.

Sementara itu wakil rakyat kita yang duduk mulai di senayan sampai di tingkat kabupaten yang notabene dipilih oleh rakyat dan mewakili rakyat, akhir-akhir ini juga mendapat sorotan. Terakhir kasus gaya hidup mewah (hedonis) di tengah-tengah bangsa yang dilanda krisis dimana masih banyak masyarakat miskin yang hidup di bumi yang tercinta ini dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, tetapi perilaku sebagian anggota DPR justru tidak mencerminkan kepedulian terhadap kondisi bangsa ini. Mereka hanya mementingkan gaya hidupnya sendiri dan kepentingan golongan atau partainya, tanpa memperjuangkan masyarakat yang memilihnya, dan tidak menutup kemungkinan yang memilih mereka terdapat komunitas yang sangat miskin. Belum lagi perilaku sebagian anggota DPR tersebut yang melakukan praktek korupsi, suap menyuap untuk suatu kedudukan atau perolehan jabatan serta komptensi mendapatkan proyek. Padahal dalam sila ke 4 Pancasila disebutkan bahwa “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Yang dalam maknanya para wakil rakyat tersebut dipilih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk memperjuangan kepentingan rakyat. Jadi posisi ini bukan untuk berlomba memperbaiki taraf hidup dengan mengatur berbagai proyek, dan sebagian nilai proyek tersebut ke kantong anggota DRP, tetapi posisi tersebut adalah pengabdian untuk kemaslahatan rakyat. Maka paradigma yang keliru ketika menjadi anggota DPR kehidupannya semakin kaya, justru harus lebih banyak mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan rakyat sebagai beban moral dari pemilihnya.

Pada pemandangan yang lain, kita biasa`menyaksikan bagaimana anak jalanan dan pengemis dikejar di jalanan dengan diperlakukan bagaikan binatang, rumah-rumah kumuh dan pedagang kaki lima digusur paksa, masyarakat miskin dibiarkan hidup dibawa kolong jembatan, panti jompo tidak dikelola secara manusiawi seperti yang pernah dipublikasikan oleh media elektronik beberapa bulan yang lalu di Kota Pare-Pare Sulawesi Selatan, serta berbagai rangkaian peristiwa yang mana pada akhirnya kaum lemah selalu menjadi korban.

Sementara itu, di sisi lain banyak orang yang kaya hasil dari praktek kejahatan sebagai pelaku korupsi (perampok uang negara) yang hidup mewah dan tidak tersentuh hukum, jika sekiranya uang hasil korupsi tersebut dikembalikan kepada negara kemudian digunakan untuk membiaya mengatasi masalah kemisikinan. Mungkin kondisi negara bisa lebih baik, masyarakat yang sebelumnya miskin bisa berubah statusnya menjadi sejahtera. Begitu pula kesenjangan antara warga yang memiliki lahan yang luasnya berpuluh-puluh hektar, sementara di sudut yang lain ada warga untuk tempat tinggal saja sangat susah, apalagi sebagai lahan sawah atau kebun mencari nafkah. Sementara di Pasal 5 dikatakan “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sungguh sangat ironis jika merenungi dan memaknai kembali nilai-nilai pancasila ini, jika kita memotret kehidupan berbagsa kita saat ini.

  • · Konteks kekinian Negara RI dibandingkan beberapa peristiwa di negara lain.

Dari rangkaian peristiwa tersebut yang terjadi di negeri kita ini kita boleh optimis akan ada perubahan ke arah yang lebih baik, kita juga bisa pesimis bisa terjadi kehancuran. Belajar dari berbagai peristiwa yang dialami oleh beberapa negara di dunia, seperti Jepang. Dahulu kala juga pernah terjadi peristiwa demi peristiwa yang terjadi antar kelompok hingga sampai pada gerakan restorasi Meiji, dan sekarang Jepang tampil mengalami masa gemilang pasca perang dunia II khususnya setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom bardir oleh pasukan sekutu dengan bom atomnya. Amerika sendiri yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok khususnya konflik antar warga kulit hitam dan kulit putih, sekarang presidennya sendiri adalah berasal dari komunitas kulit hitam yakni Barack H.Obama. Sedangkan negara yang hancur adalah Uni soviet yang sudah hilang dari peta dunia, padahal dahulu merupakan negara besar yang sangat disegani oleh Amerika dan sekutunya. Spanyol ketika masih berstatus sebagai Kerajaan Andalusia dibawah pengaruh Kerajaan Islam pernah mengalami masa keemasan, kemudian timbul peran kelompok akhirnya hancur, dan sekarang tinggal puing-pungnya saja masa keemasan tersebut.

Jika kita membandingkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, maka hal tersebut peluang dua-duanya bisa terjadi. Tergantung para penghuninya menyikapi kondisi bangsa ini. Sebagai rakyat apa yang akan dilakukan, begitu pula negara dalam hal ini aparat negara yang diberikan amanah mengelola bangsa ini, kebijakan apa yang akan dilahirkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Soalnya di depan mata praktek-praktek yang sangat mengecewakan terjadi, misalnya bagaimana mengakses jaminan kesehatan bagi keluarga miskin yang sungguh sangat sulit, meskipun ada Jamkesmas, masyarakat yang hidup di dekat areal wilayah konsensi perusahaan besar baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri. Mereka tiba-tiba kehilangan tanah tempat tinggal dan mencari nafkah karena klaim perusahaan yang mendapat hak pengelolaan tanah negara. Sementara mereka sudah hidup berpuluh-puluh tahun sebelum perusahaan tersebut datang. Hal ini banyak terjadi di seluruh pelosok tanah air yang tercinta. Lagi-lagi kaum lemah selalu menjadi korban.

  • · Harapan solusi

Dari rangkaian peritiwa di atas dan sikap para pengelola negara saat ini, maka sekiranya Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Sukarni, Sam Ratulangi dan para tokoh lainnya bisa hidup kembali, maka mereka pasti melakukan konfrensi pers untuk menyatakan kekecewaannya terhadap orang-orang yang diberi amanah mengelola negeri ini mulai dari tingkat Desa/Kelurahan sampai pemerintahan pusat di Jakarta. Dulu mereka berjuang melawan penjajah untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa pamrih, bahkan mereka rela mengorbankan harta dan nyawanya sekalipun, sedangkan saat ini kita sudah merdeka tetapi malah berperang sesama warga bangsa sendiri.

Ada masalah antar warga dengan pemerintah daerah, polisi atau satpol PP yang dijadikan tamen untuk berhadapan dengan warga. Sehingga yang jadi korban pasti antara polisi/satpol PP dengan warga. Ada sengketa antar warga dengan perusahaan, justru dibentuk pamswakarsa oleh perusahaan kemudian mereka disuruh berhadap-hadapan dengan warga yang juga adalah masyarakat Indonesia. Seperti kejadian baru-baru ini di Lampung dan Sumatera Selatan.

Dalam konteks Negara Republik Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945 tepatnya tanggal 17 Agustus. Kita dihadapkan pada sebuah persoalan besar, apakah kita mampu menemukan solusi yang menimpa bangsa kita ini. Sementara dimana-mana terdapat penghianat negara, berstatus sebagai aparat negara, tetapi justru melakukan praktek korupsi demi kepentingan peribadinya dan golongannya, yang akibatnya pasti merugikan keuangan negara.

Jika kita merenungi peristiwa demi peristiwa di negeri kita ini, banyak hal yang tidak harusnya terjadi tetapi realitasnya terjadi. Berabad-abad yang lalu kita membaca kisah Gajah Mada, Sawerigading, dan terakhir pada sunan yang terkenal dengan sebutan Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia. Mereka pada zamannya mampu membangun sebuah peradaban dengan pondasi budaya yang kuat yang sudah tumbuh berabad-abad sebelumnya. Sekarang seolah-olah simbol-simbol budaya itu hanya jadi slogan dan penghias pada buku dan dinding rumah bagai penggemar kesusastraan saja.

Kita biasa membaca dan mendengar istilah gotong royong, saling menghargai,tenggang rasa, saling menghormati, mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan golongan, tetapi seolah-olah simbol-simbol itu hanya sekedar simbol, tetapi gaunnya di negeri sudah mulai redup. Olehnya itu, perlu kita refleksi bersama cara kita menginternalisasi nilai-nilai bangsa kita selama ini. Kita lakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari nasional, Pancasila dan UUD 1945 pasti dibacakan, setiap pejabat yang akan dilantik pasti disumpah atas nama Allah/Tuhan sesuai keyakinan masing-masing para pejabat. Tetapi rasa-rasanya, ruh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tersebut sudah hambar.

Untuk itu perlu kita mereorientasi cara kita menginternalisasi metode atau strategi untuk menghayati dan mengintegrasikan nilai-nilai itu ke dalam darah kita sehingga menjadi cermin perilaku sehari-hari bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang tercinta ini. Semoga Allah Swt. Meridhoi segala upaya kita untuk memperbaiki bangsa ini yang sedang dalam keadaaan salah kelola.

Senin, 19 Desember 2011

INDAHNYA SEBUAH PERBEDAAN

Tanggal 10 oktober 2011 jam 09.00 pagi waktu Makassar dalam perjalanan menuju Soppeng, sebuah kabupaten yang terletak sekitar 145 Km arah utara Kota Makassar ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, saya menumpangi sebuah mobil kijang angkutan umum Jurusan Makassar- Sengkang. Di dalam mobil tersebut kami terdiri 7 penumpang, salah satu dari penumpang tersebut yang kebetulan duduk berdampingan di sebelah kiri saya, memulai pembicaraan tentang sistem transportasi di Kota Makassar yang mulai macet di beberapa titik, termasuk perbedaan kenyamanan mobil angkutan umum jurusan Makassar-Soppeng dengan Makassar Sengkang, dimana mobil Makassar-Sengkang lebih nyaman karena dibatasi untuk 3 orang satu kelas saja, sedangkan mobil Makassar-Soppeng sampai 4 orang satu kelas, kemudian menyoroti praktek korupsi yang merajalela di negeri ini sampai harapan besar terhadap ketua KPK yang baru Abraham Samad putra sulawesi bersama timnya untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Sambil cerita-cerita kami saling berkenalan, menanyakan nama, profesi serta asal atau tempat tinggal. Bapak tersebut menyampaikan kalau namanya " Simatupang" saya bilang oh Bapak dari Sumut ya?, dia bilang iyya dari Binjai, saya kemudian melanjutkan, oh beberapa bulan lalu saya dari Medan dan kebutulan berkunjung ke Binjai melakukan studi banding di SMPN 1 Binjai. oh itu sekolah saya lanjut Bapak Simpatupang. Kemudian perkenalan dilanjutkan yang balik bertanya kepada saya, bapak kerja dimana?, Saya bilang kebetulan kerja untuk sebuah program pendidikan yang didanai oleh USAID bantuan dari masyarakat Amerika, wilayah program di 5 propinsi di Indonesia termasuk Sumut dan Sul-Sel. kalau Bapak, profesinya apa? Pak Simatupang menjawab :Saya kebetulan sebagai seorang pelayan rohani di sebuah gereja yang membimbing umat kristiani di Pacongkang. oh, itu kampungnya ibu Marwah Daud Ibrahim, seorang tokoh Sul-Sel yang sukses di Jakarta. Pacongkang hanya sekitar 6 Km dari kampung saya pak, saya kebetulan lahir di Lajoa, lanjut saya. Di program kami ini juga membantu sekolah-sekolah kristen pak, seperti SMP Kristen di Kota Palopo. Karena kami bekerja untuk kemanusiaan jadi tidak mengenal lagi perbedaan suku, agama dan ras. Wah bagus itu, lanjut Pak Simatupang.

Sekitar 2 jam setelah kami meninggalkan Makassar tepat pukul 11.00 kami singgah di sebuah warung makan yang bernama Jabal Rahmah terletak tidak jauh dari Bantimurung tempat wisata air yang terkenal di Kabupaten Maros untuk makan siang, kami memesan ikan bakar dan sayur kambu paria makanan khas masyarakat Sul-Sel yang banyak digemari orang, saya memesan ikan Layang yang dibakar, sedangkan Pak Simatupang memesan ikan Lamuru bakar. kami berdua satu meja makan bersama, sebelum makan Pak Simatupang berdoa sesuai ajaran kristiani dan saya pun berdoa sesuai ajaran Islam yang dipelajari sejak TK Aisyiah dulu.

Setelah selesai makan siang, kamipun bergegas meninggalkan warung makan, namun sebelumnya Pak Simatupang minta izin sama saya untuk membayarkan makan siang saya. Saya pun dengan berat hati mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Pak Simatupang membayarkan makan siang saya. Kemudian saya naik ke mobil mendahului Pak Simatupang, Seseorang yang duduk di samping kanan saya menanyakan tentang Pak Simaptupang, Bapak itu pendeta ya? saya bilang iyya pak. oh di Soppeng masih banyak umat Kristiani? saya bilang iyya pak, ada tiga kampung pusat Kristen di Soppeng, yakni Kota Watansoppeng, Woddi Kecamatan Marioriwawo dan Pacongkang Kecamatan Liliriaja tempat Pak Simatupang sebagai pelayan rohani.

Kemudian Pak Simatupangpun menyusul naik mobil, disusul dengan penumpang lainnya. kemudian pak sopirpun menancap gas untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kamipun melanjutkan perbincangan dengan Pak Simatupang, sambil menanyakan pendeta pendahulunya yaitu Pendeta Haddade yang sangat terkenal di Soppeng, Pak Simatupang memaparkan kalau Pak Pendeta Haddade baru-baru ini meninggal dan beberapa hari ini kuburannya sudah ditembok. Saya sendiri baru 3 bulan bertugas di Soppeng sebelumnya juga biasa di Malino yang memang khusus melayani umat Kristiani di Sulawesi Selatan, lanjut Pak Simatupang.

Lalu saya kemudian mencoba meminta pandangan Pak Pendeta Simatupang tentang konflik antar kelompok yang berkaitan dengan issu SARA (suku, agama dan ras) selama ini di Indonesia. Menurut Pak simatupang, bahwa orang keliru mempersoalkan hal itu, toh juga kalau meninggal kelak kita akan dipertanggungjwabkan masing-masing di depan Tuhan yang kita yakini. dalam hati kecil saya betul juga paparan Pak Simatuang.

Saya lanjut bertanya; sudah berapa lama Bapak menggeluti tugas sebagai pelayan rohani, beliau menjawab saya meninggalkan tugas saya sebagai polisi tahun 1992 memutuskan untuk menjadi pelayan rohani. Wah itu keputusan luar biasa pak, mengapa Bapak memutuskan untuk menjadi pelayan rohani padahal pekerjaan sebagai polisi sangat menjanjikan?. Pak Simatupang melanjutkan kisahnya, bahwa beliau pangkat terakhir Letnan 1 kemudian minta pensiun dini dan memutuskan untuk fokus sebagai pelayan ummat. Saya mencoba memancing, apa Bapak keluar karena banyak praktek-praktek yang kurang baik di tubuh kepolisian?. Biasanya orang baik atau orang jujur yang tidak senang terhadap sebuah system dimana dia bekerja lebih memilih mengundurkan diri daripada memberontak. Pak Simatupang hanya tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaan saya. Beliau hanya mempertegas bahwa yang menjadi panglima sekarang di pucuk pimpinan kepolisian dan TNI adalah umumnya lettingnya tahun 1978. kebetulan di Akademi Kepolisian dulu kita dididik 4 tahun, dan 1 tahun terakhir semua angkatan digabung. jadi dari kepolisian, angkatan darat, angkatan laut dan angkata udara semua dipertemukan dalam satu tempat. Sehingga kita satu angkatan bisa saling mengenal dan akrab, lanjut Pak Simatupang.

Saya kemudian kembali meminta pandangannya terhadap konflik SARA selama ini, beliau memulai cerita dengan menggambarkan situasi keluarganya. bahwa dia 4 bersaudara, kakaknya yang tertua menikah dengan orang melayu sehingga masuk Islam dan sudah menunaikan ibadah haji sebelum meninggal, sehingga bergelar hajjah. Sehingga kata Pak Simatupang, kalau ke Medan saya ziarah ke kuburan orang tua dan kakak saya meskipun berlainan agama. Begitu pula di Pacongkan itu ada sebuah keluarga yang dalam satu rumah terdapat dua agama, suaminya muslim sedangkan istrinya beragama Kristen bahkan dia pengurus gereja namanya Ibu Bahriah, sehingga jika hari Natal kami datang berkunjung ke rumahnya, begitu pula saat lebaran. Pak Simatupang kemudian menegaskan bahwa seharusnya konflik itu tidak ada, justru kita harus bersyukur adanya perbedaan itu kita bisa saling kenal mengenal.

Di Makassar, pak Simaptupang biasa bersama dengan Prof. Qasim Mathar membahas hal-hal yang berbau konflik antar kelompok. Mereka saling ketemu di acara Forum antar umat beragama. Dia sangat mengagumi Prof. Qasim. bagaimana Prof. Qasim jika terjadi konflik antar kelompok atau antar agama, dia yang sangat gelisah. Eksperesi tokoh seperti Pak Qasim sangat dibutuhkan di tengah-tengah gerakan perubahan untuk membangun nilai-nilai pluralisme, ketika konflik antara Ahmadiyah dan FPI, Prof. Qasimlah yang sibuk memberi pencerahan. Bagaimana memberikan pemahaman kepada umat tentang sebuah nilai keyakinan setiap orang.

Mendengar komentar Pak Simatupang tadi saya teringat sebuah ayat dalam Al-Quran yang artinya bahwa " Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha teliti. ( QS. Al-Hujurat ((49): 13).

Kemudian pada ayat yang lain dikatakan " Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah (5):48). Di ayat yang lain juga ditegaskan bahwa " Manusia adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." ( QS.Al-baqarah (2): 213).

Sungguh sebuah keindahan jika manusia di dunia ini bisa saling memahami satu di antara yang lain, baik kelompok-kelompok di internal kelompok agama atau suku, maupun antara agama, suku dengan yang lainnya. Toh di akhirat nanti merupakan otoritas Allah Swt yang mengetahui siapa yang paling bertaqwa di antara kita. Tidak ada lagi kesempatan untuk memberi sogokan, karena Allah-lah sebagai hakim tertinggi, yang menentukan vonis bagi manusia.

Keindahan sebuah perbedaan, jika kita bisa saling bekerjasama sebagai makhluk sosial. lihat saja masyarakat Sulawesi Utara, Toraja, Sumatera Utara, mereka berasal dari agama yang berbeda, tetapi mereka saling rukun. Kisah bersama dengan Pak Simatupang tadi memberi inspirasi dan pelajaran yang sangat bermakna tentang sebuah perbedaan, jika dikelola dengan baik bisa menjadi sebuah kekuatan besar sebagai bangsa.

Jumat, 16 Desember 2011

PERPUSTAKAAN DESA

Ayat Al-Quran yang pertama turun adalah Iqra bismi rabbika ladzi khalaq (al-Alaq:1), yang artinya bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. perintah pertama bagi anak keturunan Adam dan Hawa ini adalah membaca. membaca dalam arti yang luas agar bisa lebih memahami bukti kekuasaan dan kemahakuasaan sang pencipta.

Kekuatan membaca sudah diakui oleh beberapa ahli, bahkan terakhir ini Andy F. Noya mengakui bahwa membaca dapat mengubah kualitas hidup seseorang. bercermin dari pengalaman hidupnya yang berasal dari keluarga miskin, dan sekarang sukses meniti karir dalam bidang jurnalistik.

Bahkan akibat dari kekuatan membaca itu sendiri dapat mengubah dunia, para ilmuan dunia yang terkenal seperti Albert Einstein, Newton, Archimides, Ibnu zina, Ibnu Taimiyah, Ibnu Arabi, Ali Syariati, Mullah Shadra, Quraish Shihab, Baharuddin Yusuf Habibi dan masih banyak yang lainnya sungguh karyanya memberi inspirasi dan manfaat bagi mahluk di atas bumi ini. dan sudah dirasakan betapa hebatanya hasil karya mereka, ini bukti dari hasil sebuah kebiasaan membaca.

Untuk itu gagasan mengenai perpustakaan Desa, dengan harapan bisa lebih mendekatkan rakyat dengan buku sudah tidak boleh ditunda lagi. dengan buku, masyarakat desa bisa menambah wawasannya untuk memperbaiki kualitas hidupnya, mereka bisa membandingkan kesuksesan masyarakat di belahan bumi lain lewat membaca, baik sumbernya buku, majalah atau internet yang sudah mulai masuk desa.

banyak sekali sumber atau literatur yang dibutuhkan oleh masyarakat di desa, cuma selama ini mereka tidak mampu mengakses informasi. karena pemerintah tidak cukup menyiapkan infra struktur itu sampai ke desa. perpustakaan biasanya hanya di tingkat kabupaten, itupun hanya sebatas orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya.

Persoalan-persoalan yang sering muncul di desa, misalnya tentang pendidikan politik warga yang masih kurang, keterbatasan pengetahuan tentang pemasaran hasil-hasil produksi pertanian, perkebunan atau empang dan laut dapat dipecahkan melalui pengelolaan perpustakaan desa yang berbasis masyarakat.

kita banyak sumber bacaan, hanya selama ini belum terdistribusi sampai ke pelosok desa. begitu pula budaya membaca masyarakat kita masih kurang, oleh karenanya melalui wadah ini pula dapat membiasakan masyarakat kita untuk selalu membaca. kita berharap semoga perpustakaan desa mendapat dukungan oleh banyak pihak agar wajah bangsa kita ke depan bisa lebih baik lagi.

Ingat, membaca dapat mengubah kualitas hidup, salam untuk gerakan perubahan ke arah yang lebih baik.